Senin, 30 Agustus 2010

EMOSI

BAB I
PENDAHULUAN
Kita menyebut emosi yang muncul dalam diri kita dengan berbgai nama seperti sedih, gembira, kecewa, semangat, marah, benci, cinta. Sebuta yang kita berikan kepada perasaan tertentu, mempengaruhi bagamana kita berpikir mengenai perasaan itu, dan bagaimana kta bertindak. Umpamanya, seorang ibu yang merasa sedih bertingkah laku lain dari seorang wanita yang merasa gembira.
Sejak kecil, kita sudah mulai membedakan emosi yang satu denagan yang lain, karena perbedaan tanggapan orang tua kita terhadap berbagai perasaan dan tingkah laku kita. Sebagia kanak-kanak kita mengalami perasaaan enak, seperti kalu kita digendong dan disuapi makan atau perasaan jelek, seerti pada waktu kita lapar. Kemampuan untuk membedakan antara bermacam-macam hal seperti barang kepunyaan kita dari kepunyaan teman, suara dan wajah orang, musi-musim dalam perjalanan tahun, dengan perlahan-lahan bertambah sejalan dengan perkembangan kita maju dari masa kanak-kanak ke masa kita remaja, dan ke masa dewasa. Kemampuan untuk membedakan antara bermacam-macam hal yang kita jumpai semakin tajam dan teliti , berlangsung terus dalam hidup kita, sehingga kita makin dapat membedakan antara perasaan kita sendiri dengan perasaan orang lain. Para psikolog memandang proses ini sebagai salah satu segi yang sangat rumit dalam perkembangan manusia.
Kita dapat menikmati perkembangan pengertian tentang perasaan itu dalam diri anak misalnya, tidak dapat membedakan antara rasa benci dan rasa marah. Mereka sadar bahwa apa yang mereka alami tidak enak, bahwa merek merasa sakit hati dan dilukai oleh seseorang dan merasakan sesuatu yang buruk mau melawan orang itu. Tetapi mereka belum tahu bahwa rasa marah dapat merupakan suatu persaan yang lekas dapat hilang, sedangkan rasa benci dapat lebih awet. Apalagi mereka belum dapat membedakan antara kedua perasaan itu.
Anak-anak remaja sering ragu-ragu dan bimbang mengenai rasa cinta yang mereka alami yang satu dari yang lain, dan makin cakap menyebut emosi-emosi itu, kita juga mulai memikirkan lebih dalam mengenai perasaan-perasaan kita. Kita tidak hanya merasa sedih atau marah. Kita juga mulai bertanya-tanya apa sebabnya kita merasa sedih atau marah, dan apakah yang dapat kita perbuat terhadap perasaan yang melanda kita itu. Kita tidak lagi merupakan sasaran emosi-emosi yang bermacam-macam saja, seperti bayi. Perasaan kita mempunyai nama dan ada sebabnya, dan kadang-kadang dapat kita hubungkan dengan tindakan-tindakan dan perilaku tertentu kita.
Kemampuan untuk memikirkan emosi kita juga membantu meningkatkan kemampuan untuk menguasainya. Kita masih merasa getaran-getaran emosi itu, akan tetapi kita sudah mempunyai bermacam-macam pilihan untuk menanggapinya. Kita mengerti dengan lebih baik apa yang menyebabkan emosi tadi, dan kita dapat memutuskan apakah kita ingin memendam perasaan itu, atau apakah kita ingin mengungkapkan emosi itu, umpamanya dengan menangis, atau dengan mengundurkan emosi itu, sedemikian rupa sampai orang-orang lain akan terkena akibatnya.



BAB II
ISI
EMOSI
1. DEFINISI EMOSI

Hal yang paling sulit dilakukan oleh sebagian besar orang adalah mengalahkan musuh terbesar mereka yaitu diri sendiri. Jika seseorang sudah dapat mengalahkan dan mengendalikan diri sendiri, berarti seseorang itu sudah mencapai tahap kecerdasan spiritual yang tinggi. Mengalahkan dan mengendalikan diri sendiri bukanlah sebuah peristiwa, tetapi sebuah kebiasaan dan kedisiplinan yang harus dilakukan setiap hari.

Emosi adalah istilah yang digunakan untuk keadaan mental dan fisiologis yang berhubungan dengan beragam perasaan, pikiran, dan perilaku. Emosi adalah pengalaman yang bersifat subjektif, atau dialami berdasarkan sudut pandang individu. Emosi berhubungan dengan konsep psikologi lain seperti suasana hati, temperamen, kepribadian, dan disposisi. Kata "emosi" diturunkan dari kata bahasa Perancis, dari émouvoir, 'kegembiraan' dari bahasa Latin emovere, dari e- (varian eks-) 'luar' dan movere 'bergerak'. "Motivasi" juga diturunkan dari movere. Pandangan sistematis yang pertama kali adalah pandangan dari Darwin yang mendefinisikan emosi sebagai mekanisme untuk adaptasi dan mempertahankan hidup oleh individu.Apabila emosi ditilik dari bahasa Inggris, kata emosi adalah ‘emotion’. Emotion merujuk pada sesuatu dan perasaan yang sangat menyenangkan atau sangat mengganggu. Misalnya, Seseorang merasakan situasi yang menyenangkan ketika bersama pacar, rasa bahagia, saling senyum, dan dunia serasa milik berdua. Keadaan itu mungkin dikatakan “emosi cinta”.

Definisi menurut para ahli tentang emosi itu banyak sekali tetapi dapat ditarik lima benang merah diantara definisi emosi itu, yakni emosi dipicu oleh interpretasi seseorang terhadap suatu kejadian, adanya reaksi fisiologis yang kuat, ekspresi emosionalnya berdasarkan pada mekanisme genetika, merupakan informasi dari satu orang ke yang lainnya, dan membantu seseorang beradaptasi terhadap perubahan situasi lingkungan.
Emosi banyak sekali jenisnya. Sebagai perbandingan, dalam bahasa Inggris setidaknya ditemukan lebih dari 500 kata untuk menggambarkan emosi (Averill, 1975 dalam Feldman, 2003). Seringkali tidak ada keseragaman dalam memberi nama pada jenis emosi tertentu karena sangat tergantung pada banyak faktor, seperti perilaku yang tampak (misalnya menangis,tertawa), rangsangan yang memicu emosi tersebut (benda yang menakutkan,ucapan yang memuji), reaksi fisiologik yang timbul (debaran jantung atau adrenalin meninggi atau normal), watak individu itu sendiri (pemberani,penakut), dan situasi sosial-budaya setempat(perempuan boleh manja, pria jangan menangis, dan sebagainya). Banyak sebutan untuk aneka jenis emosi dapat di lihat dalam Daftar Emosi.
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa emosi adalah suatu konsep yang sangat majemuk sehingga tiadak ada satupun definisi yang diterima secara universal. Studi tentang emosi tidak hanya dilakukan oleh ilmu psikologi, tetapi juga oleh sosiologi, neurologi, etika, dan filsafat. Hal tersebut menambah lagi keragaman definisi tentang emosi.
Situasi yang sama belum tentu akan menghasilkan emosi yang sama karena tergantung pemaknaan terhadap situasi tersebut. Melalui emosi, seseorang menyampaikan maksud pada orang lain. Takut yang dialami seseorang sebagai informasi bahwa ia tidak mau melakukan sesuatu. Marah yang dialami merupakan informasi bahwa ia tidak suka diperlakukan seperti perlakuan yang sudah diterimanya. Pendek kata, melalui emosi kita tahu apa yang telah terjadi.
Kemunculan emosi biasanya spontan, tidak disadari dan tanpa diniatkan. Tiba-tiba saja Anda mengalami emosi tertentu. Anda baru sadar mengalami sebuah emosi setelah emosi itu Anda alami.
Emosi dan perasaan (emotion & feeling). Keduanya digunakan secara tumpang tindih dalam percakapan keseharian. Perasaan mengandung adanya suatu pengalaman subjektif. Apa yang dirasakan satu orang dengan orang lain relatif sulit untuk dibandingkan. Hanya diri sendirilah yang bisa mengalami perasaan yang muncul. Sebagian ahli menyebutkan bahwa di dalam emosi terkandung perasaan. Ini artinya, perasaan adalah komponen dari emosi. Perasaan diartikan sebagai keadaan yang dirasakan sedang terjadi dalam diri seseorang
menurut seorang peneliti emosi dari Australian National University, yakni Anna Wierzbicka, tidak semua budaya memiliki kata untuk emosi sebagaimana yang dikonsepsikan dalam bahasa inggris sedangkan kata yang bermakna perasaan (feeling) ada dalam semua bahasa. Menurutnya lagi, kata emosi lebih disukai karena kesannya lebih objektif dan lebih ilmiah daripada kata perasaan. Oleh sebab itu kata emosi jauh lebih luas digunakan dalam dunia ilmu pengetahuan.
Emosi bisa dibedakan dalam nilai positif dan negatif. Diantara keduanya terdapat nilai netral. Emosi netral adalah kategori emosi yang tidak jelas posisinya. Emosi positif berperan dalam memicu munculnya kesejahteraan emosional (emotional well-being) dan memfasilitasi dalam pengaturan emosi negatif. Jika emosi seseorang positif, maka seseorang itu akan lebih mudah dalam mengatur emosi negatif yang tiba-tiba datang. Emosi-emosi yang bernilai positif diantaranya adalah sayang, suka, cinta, bahagia, gembira, senang, dan lainnya. Emosi negatif menghasilkan permasalahan yang mengganggu individu maupun masyarakat. Emosi-emosi yang bernilai negatif. Misalnya sedih, marah, cemas, tersinggung, benci, jijik, muak, prasangka, takut, curiga dan sejenisnya.
Emosi adalah keadaan internal yang memiliki manifestasi eksternal. Meskipun yang bisa merasakan emosi hanyalah yang mengalaminya, namun orang lain kerap bisa mengetahuinya karena emosi diekspresikan dalam berbagai bentuk. Emosi diekspresikan dalam bentuk verbal maupun nonverbal. Ekspresi verbal misalnya menulis dalam kata-kata, berbicara tentang emosi yang dialami, dan lainnya. Ekspresi nonverbal misalnya perubahan ekspresi wajah, ekspresi vokal atau (nada suara dan urutan pengucapan), perubahan fisiologis, gerak dan isyarat tubuh, dan tindakan-tindakan emosional
Salah satu anugerah Tuhan kepada manusia adalah kesadaran diri (self awareness). Hal ini berarti manusia memiliki kekuatan untuk mengendalikan diri. Kesadaran diri membuat sesorang dapat sepenuhnya sadar terhadap seluruh perasaan dan emosi dirinya. Dengan senantiasa sadar akan keberadaan diri, seseroang dapat mengendalikan emosi dan perasaannya.
Namun seringkali manusia ”lupa” diri, sehingga lepas kendali atas emosi, perasaan dan keberadaan dirinya. Oleh karena, itu agar dapat mengendalikan dan menguasai diri, maka seseorang harus senantiasa membuka kesadaran dirinya melalui upaya memasuki alam bawah sadar (frekuensi gelombang otak yang rendah) maupun suprasadar melalui meditasi.
Mengalahkan diri sendiri memiliki dua dimensi yaitu mengendalikan emosi dan disiplin. Mengendalikan emosi berarti seseorang mampu mengenali/memahami serta mengelola emosinya, sedangkan kedisiplinan adalah melakukan hal-hal yang harus dilakukan secara ajeg dan teratur dalam upaya mencapai tujuan atau sasaran kita.
a. Mengendalikan Emosi
Kecerdasan emosi merupakan tahapan yang harus dilalui seseorang sebelum mencapai kecerdasan spiritual. Seseorang dengan Emotional Quotient (EQ) yang tinggi memiliki fondasi yang kuat untuk menjadi lebih cerdas secara spiritual. Seringkali kita menganggap bahwa emosi adalah hal yang begitu saja terjadi dalam hidup kita. Kita menganggap bahwa perasaan marah, takut, sedih, senang, benci, cinta, antusias, bosan, dan sebagainya adalah akibat dari atau hanya sekedar respons kita terhadap berbagai peristiwa yang terjadi pada kita.
Menurut definisi Daniel Goleman dalam bukunya “Emotional Intelligence”, emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Sedangkan Anthony Robbins (penulis Awaken the Giant Within) menunjuk emosi sebagai sinyal untuk melakukan suatu tindakan. Di sini dia melihat bahwa emosi bukan akibat atau sekedar respons tetapi justru sinyal untuk kita melakukan sesuatu. Jadi dalam hal ini ada unsur proaktif, yaitu kita melakukan tindakan atas dorongan emosi yang kita miliki. Bukannya kita bereaksi atau merasakan perasaan hati atau emosi karena kejadian yang terjadi pada kita.
b. Menguasai Diri dan Kedisiplinan
Kata ‘disiplin’ atau ‘self-control’ berasal dari bahasa Yunani, dari akar kata yang berarti ”menggenggam” atau ”memegang erat”. Kata ini sesungguhnya menjelaskan orang yang bersedia menggenggam hidupnya dan mengendalikan seluruh bidang kehidupan yang membawanya kepada kesuksesan atau kegagalan. John Maxwell mendefinisikan ‘disiplin’ sebagai suatu pilihan dalam hidup untuk memperoleh apa yang kita inginkan dengan melakukan apa yang tidak kita inginkan. Setelah melakukan hal yang tidak kita inginkan selama beberapa waktu (antara 30 – 90 hari), ‘disiplin’ akhirnya menjadi suatu pilihan dalam hidup untuk memperoleh apa yang kita inginkan dengan melakukan apa yang ingin kita lakukan sekarang!! Saya percaya kita bisa menjadi disiplin dan menikmatinya setelah beberapa tahun melakukannya.
Berikut saya mengutip tulisan John Maxwell tentang disiplin diri yang merupakan syarat utama bagi seorang pemimpin:
“All great leaders have understood that their number one responsibility was for their own discipline and personal growth. If they could not lead themselves, they could not lead others. Leaders can never take others farther than they have gone themselves, for no one can travel without until he or she has first travel within. A leader can only grow when the leader is willing to ‘pay the price’ for it”.
Dalam buku "Developing the Leader Within You", John Maxwell menyatakan ada dua hal yang sangat sukar dilakukan seseorang. Pertama, melakukan hal-hal berdasarkan urutan kepentingannya (menetapkan prioritas). Kedua, secara terus-menerus melakukan hal-hal tersebut berdasarkan urutan kepentingan dengan disiplin.
Emosi sebagai reaksi penilaian (positif atau negatif) yang kompleks dari system syaraf seseorang terhadap rangsangan dari luar atau dari dalam dirinya sendiri. Definisi itu menggambarkan bahwa emosi diawali dengan adanya suatu rangsangan, baik dari luar (benda,manusia,situasi,cahaya), maupun dari dalam diri kita (tekanan darah,kadar gula,lapar,ngantuk,segar,dan lain-lain), pada indera-indera kita. Selanjutnya, kita (orang,individu) menafsirkan persepsi kita atas rangsangan itu sebagai suatu hal yang positif (menyenangkan,menarik) atau negatif (menakutkan, ingin menghindar) yang selanjutnya kita terjemahkan dalam respons-respons fisiologik dan motorik (jantung berdebar, mulut menganga, bulu roma berdiri, mata merah,dan sebagainya) dan pada saat itulah tejadi emosi.
Emosi sering dikaitkan dengan orang yang pemarah. Pengertian tersebut secara awam dikenali dan dipakai oleh banyak orang. Emosi tidak sekedar menunjukkan orang yang pemarah apalagi merujuk kepada streotip untuk suku tertentu.
Emosi tidak sekedar dilihat dari reaksi fisiologis. Emosi bisa munculkan oleh motif sosiogenetik yaitu motif yang dipelajari oleh orang lain berasal dari lingkungan tempat seseorang berkembang (Gerungan, 1996:149). Emosi memberikan informasi dari satu orang ke yang lainnya. Rasa takut yang dialami seseorang sebagai informasi bahwa dia tidak mau melakukan sesuatu. Marah dialami merupakan informasi bahwa ia tidak suka diperlakukan seperti perlakuan yang sudah diterimanya. Emosi dapat muncul tidak disadari dan tanpa diniatkan. Seseorang baru sadar mengalami sebuah emosi setelah emosi itu dialami sendiri, Misalnya bertemu dengan musuh, tiba-tiba saja marah.





Tabel 1.1 DAFTAR EMOSI
DAFTAR EMOSI DAFTAR EMOSI
Penerimaan (Acceptance)
Kasih sayang (Affection)
Agresi ( Aggresion )
Tak pasti (Ambivalence)
Terganggu (Annoyance)
Tak Peduli (Apathy)
Cemas ( Anxiety )
Bosan ( Boredom )
Belas kasihan (Compassion)
Bingung (Confusion)
Tak setuju (Contempt)
Ingin tahu (Curiosity)
Depresi (Depression)
Tidak puas (Dissapointment)
Ragu (Doubt)
Riang (Ecstasy)
Empati (Empathy) Iri (Envy)
Tersinggung (Embarassment)
Ephoria (Euphoria)
Memaafkan (Forgiveness)
Frustrasi (Frustration)
Berterima kasih (Gratitude)
Berduka (grief)
Rasa bersalah (guilt)
Benci (Hatred)
Horor (horror)
Kebencian (hostillity)
Rindu kampung halaman (Homesickness)
Lapar (hunger)
Histeria (Hysteria)
Minat (Interest)
Emosi hakikatnya adalah salah satu bentuk dari komunikasi seseorang. Kala seseorang emosi, artinya dia sedang berupaya menyampaikan pesan kepada orang lain. Bentuk penyampaiannya berbeda-beda, bergantung pada lingkungan dan kondisi sosial budaya yang membentuknya. Komunikasi pada emosi memiliki ciri-ciri tertentu:
1. Sikap terjadi bukan dibawa sejak diilahirkan.
2. Sikap berubah-ubah dan dapat dipelajari.
3. Siap tidak berdiri sendiri, karena mengandung relasi terhadap suatu objek.
4. Sikap merupkan segi-segi motivasi dan perasaan. Sifat berdasarkan pengetahuan seseorang.
(Newcomb, Turner, dan Converse, 1981:151).
Berikut beberapa hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan disiplin diri:
1. Tetapkan tujuan atau target yang ingin dicapai dalam waktu dekat.
2. Buat urutan prioritas hal-hal yang ingin dilakukan.
3. Buat jadwal kegiatan secara tertulis
4. Lakukan kegiatan sesuai dengan jadwal yang dibuat, tetapi jangan terlalu kaku. Jika diperlukan, jadwal tersebut dapat diubah sesuai dengan kondisi dan situasi.
5. Berusahalah untuk senantiasa disiplin dengan jadwal program kegiatan yang sudah disusun sendiri. Sekali tidak disiplin atau menunda kegiatan tersebut, akan sulit untuk kembali melakukannya.
Melalui pengendalian emosi, penguasaan diri dan kedisiplinan seseorang dapat lebih memahami dirinya dan bagaimana cara memanfaatkan potensi luar biasa dalam diri nya sehingga seseorang itu dapat menjadi manusia yang lebih cerdas secara spiritual. Namun, semua ini tidak akan ada artinya jikaseseorang tidak melakukan sesuatu. Seseorang harus melakukan sesuatu untuk mencapai kehidupan yang berkelimpahan dan berkualitas, karena hanya diri sendiri yang dapat mengubah kehidupan seseorang.
Secara umum terdapat sekurang-kurangnya 7 fungsi emosi bagi manusia. Masing-masing fungsi itu berperan penting bagi kelangsungan hidup manusia karena membantu dalam penyesuaian terhadap lingkungan.
1. Menimbulkan respon otomatis sebagai persiapan menghadapi krisis.
Bayangkan jika seseorang tiba-tiba bertemu dengan ular. Mungkin seseorang itu akan merasa terkejut dan lalu melompat. Karena terkejut itulah maka ia selamat dari gigitan ular. Artinya, keadaan krisis bisa dilewati karena seseorang itu memiliki respon otomatis.
2. Menyesuaikan reaksi dengan kondisi khusus.
3. Memotivasi tindakan yang ditujukan untuk pencapaian tujuan tertentu..
4. Mengomunikasikan sebuah niat pada orang lain.
5. Meningkatkan ikatan sosial
. Adanya emosi yang positif seperti rasa bahagia, penerimaan, sayang, kegembiraan, kedamaian, akan membuat hubungan sosial yang ada semakin erat
6. Mempengaruhi memori dan evaluasi suatu kejadian

7. Meningkatkan daya ingat terhadap memori tertentu
Seseorang akan lebih mengingat kembali kenangan-kenangan yang diliputi oleh emosi yang kuat.
Marah adalah suatu perilaku yang normal dan sehat, sebagai salah satu bentuk ekspresi emosi manusia . Namun, ketika marah tidak terkendali dan cenderung menuju arah negatif, marah akan menjadi masalah (Rahmat, www.percikan-iman.com). Seperti bentuk emosi lainnya, marah juga diikuti dengan perubahan psikologis dan biologis. Ketika Anda marah, denyut nadi dan tekanan darah meningkat, begitu juga dengan level hormon, adrenaline, dan noradrenaline, ungkap Charles Spielberger, Ph.D., seorang ahli psikologi yang mengambil spesialisasi studi tentang marah. Dari pendapatnya tersebut, Apabila seseorang sedang marah, ada banyak hal yang terjadi pada dirinya yang mungkin tidak pernah kita perhatikan lebih jauh.
Emosi pada kepribadian merujuk sifat-sifat yang dimiliki oleh seseorang. Suatu emosi cenderung diulang-ulang, maka emosi itu dianggap sebagai sifat kepribadian. Emosi memilki hubungan yang mempengaruhi pada kepribadian seseorang. Orang yang sering marah-marah akan disebut memiliki sifat pemarah. Orang yang sering mengalami takut akan disebut penakut. Orang yang sering menunjukkan kebanggaan diri akan disebut sombong. Orang yang sering bersedih akan disebut pemurung. Orang yang mudah cemas disebut pencemas.
Emosi berbeda diartikan berdasarkan latar daerah bahasa. Bahasa berbeda memiliki jumlah kosakata emosi yang berbeda. Misalnya, kata emosi dalam bahasa inggris berbeda dengan jumlah kata-kata emosi dalam bahasa Indonesia, bahasa Jawa dan bahasa Minangkabau. Emosi yang dialami mungkin sama, namun dalam bahasa tertentu hanya digunakan satu kata untuk menyebutnya, sedangkan dalam bahasa lain diterangkan lebih terperinci sehingga dipecah ke dalam beberapa kata.
Salah satu pengkategorian emosi yang cukup bermanfaat adalah dengan membedakan emosi berdasarkan skenario kognitif yang dimiliki seseorang terhadap emosi yang dialami. Misalnya dibedakan berdasarkan kejadian-kejadian yang menyebabkan emosi, berdasarkan nilai positif dan negatif, berdasarkan kedekatan makna antara kata-kata emosi, dan lainnya.
Sekurangnya terdapat tiga cara dalam membedakan emosi, yakni perbedaan yang terlihat dengan adanya kata-kata emosi yang banyak jumlahnya itu, membedakan berdasarkan kejadian yang menimbulkan emosi dan tanda-tanda munculnya emosi. Emosi datang berdasarkan motif. Motif merupakan pengertian yang berkaitan semua penggerak atau dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan diia berbuat sendiri. Tingkah laku manusia menyebabkan seseorang berbuat sesuatu (Gerungan, 1996:140).

Sudah lama diketahui bahwa emosi merupakan salah satu aspek berpengaruh besar terhadap sikap manusia. Bersama dengan dua aspek lainnya, yakni kognitif (daya pikir) dan konatif (psikomotorik), emosi atau yang sering disebut aspek afektif, merupakan penentu sikap, salah satu predisposisi perilaku manusia. Namun tidak banyak yang mempermasalahkan aspek emosi hingga muncul Daniel Goleman (1997) yang mengangkatnya menjadi topik utama di bukunya. Kecerdasan emosi memang bukanlah konsep baru dalam dunia psikologi. Lama sebelum Goleman (1997) di tahun 1920, E.L. Thorndike sudah mengungkap social intelligence, yaitu kemampuan mengelola hubungan antar pribadi baik pada pria maupun wanita. Thorndike percaya bahwa kecerdasan sosial merupakan syarat penting bagi keberhasilan seseorang di berbagai aspek kehidupannya.
Salah satu pengendali kematangan emosi adalah pengetahuan yang mendalam mengenai emosi itu sendiri. Banyak orang tidak tahu menahu mengenai emosi atau besikap negatif terhadap emosi karena kurangnya pengetahuan akan aspek ini. Seorang anak yang terbiasa dididik orang tuanya untuk tidak boleh menangis, tidak boleh terlalu memakai perasaan akhirnya akan membangun kerangka berpikir bahwa perasaan, memang sesuatu yang negatif dan oleh karena itu harus dihindari. Akibatnya anak akan menjadi sangat rasional, sulit untuk memahami perasaan yang dialami orang lain serta menuntut orang lain agar tidak menggunakan emosi. Salah satu definisi akurat tentang pengertian emosi diungkap Prezz (1999) seorang EQ organizational consultant dan pengajar senior di Potchefstroom University, Afrika Selatan, secara tegas mengatakan emosi adalah suatu reaksi tubuh menghadapi situasi tertentu. Sifat dan intensitas emosi biasanya terkait erat dengan aktivitas kognitif (berpikir) manusia sebagai hasil persepsi terhadap situasi. Emosi adalah hasil reaksi kognitif terhadap situasi spesifik.
Emosilah yang seringkali menghambat orang tidak melakukan perubahan. Ada perasaan takut dengan yang akan terjadi, ada rasa cemas, ada rasa khwatir, ada pula rasa marah karena adanya perubahan. Hal tersebut itulah yang seringkali menjelaskan mengapa orang tidak mengubah polanya untuk berani mengikuti jalur-jalur menapaki jenjang kesuksesan. Hal ini sekaligus pula menjelaskan pula mengapa banyak orang yang sukses yang akhirnya terlalu puas dengan kondisinya, selanjutnya takut melangkah. Akhirnya menjadi orang yang gagal.
Emosi pada prinsipnya menggambarkan perasaan manusia menghadapi berbagai situasi yang berbeda. Oleh karena emosi merupakan reaksi manusiawi terhadap berbagai situasi nyata maka sebenarnya tidak ada emosi baik atau emosi buruk. Berbagai buku psikologi yang membahas masalah emosi seperti yang dibahas Atkinson (1983) membedakan emosi hanya 2 jenis yakni emosi menyenangkan dan emosi tidak menyenangkan. Dengan demikian emosi di kantor dapat dikatakan baik atau buruk hanya tergantung pada akibat yang ditimbulkan baik terhadap individu maupun orang lain yang berhubungan (Martin, 2003).
Tantangan menonjol bagi pekerja saat ini terutama adalah bertambahnya jam kerja serta keharusan untuk mengelola hal-hal berpotensi stress dan berfungsi efektif di tengah kompleksitas bisnis. Selain itu pekerja dituntut mampu menempatkan kedupan kerja dan keluarga selalu dalam posisi seimbang. Bahkan hanya soal kemampuan logika, saat ini tantangan pekerjaan juga terletak pada kemampuan berelasi dan berempati. Dalam berkata, bertindak dan mengambil keputusan, seseorang membutuhkan kecerdasan emosi yang tinggi, sehingga mampu melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain.
Emosi menjadi penting karena ekspresi emosi yang tepat terbukti bisa melenyapkan stress pekerjaan. Semakin tepat mengkomunikasikan perasaan, semakin nyaman perasaan tersebut. Ketrampilan manajemen emosi memungkinkan individu menjadi akrab dan mampu bersahabat, berkomunikasi dengan tulus dan terbuka dengan orang lain. Berbagai riset tentang emosi umumnya berkesimpulan sederhana bahwa ‘adalah penting untuk membawa emosi yang menyenangkan ke tempat kerja’. Emosi yang tadinya sering ditinggal di rumah saat berangkat kerja saat ini justru semakin perlu dilibatkan di setiap setting bisnis. Naisbitt (1997) pun dalam bukunya “High Tech, High Touch : Technology and Our Search for Meaning” mendukung pendapat ini. Dikatakannya pada situasi teknologi mewabah, justru haus akan sentuhan kemanusiaan. Perkembangan tehnologi yang luar biasa yang kini terjadi dirasakan tidak diiringi dengan perubahan sosial yang memadai. Naisbitt (1997) menyebut era saat ini sebagai ‘zona keracunan tehnologi’. Di satu sisi sangat memuja tehnologi, di sisi lain melihat ada bagian yang hilang dari tehnologi, yaitu sentuhan kemanusiaan yang kita idamkan (Martin, 2003).

















2.TEORI-TEORI EMOSI
Ada dua macam pendapat tentang terjadinya emosi, yaitu pendapat nativistik (emosi adalah bawaan) dan pendapat empirik (emosi adalah hasil belajar/pengalaman). Salah satu penganut paham nativistik yang termasuk paling awal mengemukakan teori emosinya adalah Rene Descartes (1596-1650). Menurut Descartes, sejak lahir manusia mempunyai enam emosi dasar yaitu : cinta, kegembiraan, keinginan, benci, sedih, dan kagum. Setelah Descartes cukup banyak pakar psikologi yang mengajukan teori-teori emosi yang juga bersifat nativistik. Salah satu argumentasi yang melandasi teori-teori nativistik adalah bahwa ekspresi emosi pada dasarnya sama saja diantara hewan dan manusia, anak kecil, maupun orang dewasa.
Walgito, 1997 (dalam DR. Nyayu Khodijah), mengemukakan tiga teori emosi, yaitu :
• Teori Sentral,
Menurut teori ini, gejala kejasmanian merupakan akibat dari emosi yang dialami oleh individu; jadi individu mengalami emosi terlebih dahulu baru kemudian mengalami perubahan-perubahan dalam kejasmaniannya. Contohnya : orang menangis karena merasa sedih
• Teori Periferal
Teori ini dikemukakan oleh seorang ahli berasal dari Amerika Serikat bernama William James (1842-1910). Menurut teori ini justru sebaliknya, gejala-gejala kejasmanian bukanlah merupakan akibat dari emosi yang dialami oleh individu, tetapi malahan emosi yang dialami oleh individu merupakan akibat dari gejala-gejala kejasmanian. Menurut teori ini, orang tidak menangis karena susah, tetapi sebaliknya ia susah karena menangis.
• Teori Kepribadian
Menurut teori ini, emosi ini merupakan suatu aktifitas pribadi, dimana pribadi ini tidak dapat dipisah-pisahkan dalam jasmani dan psikis sebagai dua substansi yang terpisah. Karena itu, maka emosi meliputi pula perubahan-perubahan kejasmanian. Misalnya apa yang dikemukakan oleh J. Linchoten.






Tabel 2.1 Para ahli dan kajiannya tentang emosi
TEORI EMOSI DASAR
Nama Pakar Emosi Dasar Dasar Pengambilan Kesimpulan

Arnold Marah, enggan, berani, kecewa, hasrat, putus asa, benci, berharap, cinta, sedih Hubungan dengan kecenderungan-kecenderungan

Ekman, Friesen, dan Ellsworth Marah, jijik, takut, gembira, sedih, kejutan
Ekspresi wajah universal
Frijda Hasrat, bahagia, minat, kejutan, kaget, duka
Bentuk kesiapan bertindak
Gray Gusar, teror, cemas, gembira Bakat

Izard Marah, jijik, tidak suka, stress, takut, rasa bersalah, minat, gembira, malu, kejutan
Bakat
James Takut, cinta, duka, gusar Keterlibatan tubuh

McDougall Marah, jijik, gembira, takut, tidak berdaya, perasaan lembut, kagum
Hubungan dengan naluri
Mowrerr Sakit, senang Keadaan emosi yang tidak dipelajari

Oatley dan Johnson-Laird Marah, jijik, cemas, bahagia, sedih Tidak memerlukan tujuan tertentu

Panksepp Berharap, takut, gusar, panik Bakat


Plutchik Pasrah, marah, antisipasi, jijik, gembira, takut, sedih, kejutan
Hubungan dengan adaptasi biologis
Tomkins Marah, interest, jijik, tidak suka, stress, takut, gembira, malu, kejutan
Besarnya rangsangan syaraf
Watson Takut, cinta, gusar Bakat

Weiner dan Graham Bahagia, sedih Atributsi, mandiri
(Sumber: Ortony dan Turner, 1990)
Di sisi lain, golongan empiris sangat mengutamakan hubungan antara jiwa yang berpusat di otak (khususnya amygdala yang dipercaya sebagai pusat emosi) dengan ransanagan-rangsangan dari lingkungan melalui jaringan syaraf pada tubuh manusia, yaitu mulai dari perifer/tepi (indera) ke pusat, diolah di pusat (otak) dan kembali ke perifer/tepi (motorik,kelenjar-kelenjar) dalam bentuk reaksi-reaksi tubuh.
Selanjutnya, ada tiga teori empiric klasik tentang emosi yang didasarkan pada hubungan otak/syaraf dengan rangsangan dari lingkungan. Yang pertama adalah teori somatic dari William James dan Carl Lange (akhir abad ke-19) , yang kemudian dikritik oleh Canon Bard, dan yang termodern adalah Teori Kognitif tentang emosi yang disebut sebagai Teori Singer-Scharter.
William James pada tahun 1893 dan Carl Lange pada awal abad ke-20 menyajikan pandangan tentang emosi. Menurut teori James-Lange, sebuah emosi adalah reaksi terhadap perubahan-perubahan dalam system fisiologi tubuh (Garret, 2005; Feldman, 2003; Schwartz, 1986). Jadi kalau seseorang melihat seekor beruang, ia belum merasa takut dulu, tetapi jantungnya mulai berdebar keras, dan adrenalinnya terpacu. Perubahan-perubahan faal/fisiologi ini dipersepsi oleh orang yang bersangkutan dan baru pada saat itulah orang tersebut merasa takut (menjerit). Dalam praktik, teori ini digunakan sebagai dasar untuk, misalnya, terapi tertawa. Dalam satu kelompok, orang diminta untuk tertawa saja sekeras-kerasnya walaupun tidak ada yang lucu, maka emosi senang dan gembira akan muncul karena tertawa itu.
Tetapi, Walter Canon dan Philip Bard (1929) membuktikan dalam penelitian-penelitiannya dengan hewan, bahwa reaksi motorik timbul setelah takut, bukan reaksi motorik menimbulkan takut (Garret, 2005; Feldman, 2003 ). Jadi, orang menjerit dan lari karena takut, bukan menjerit dulu baru takut .
Teori Canon-Bard ini pun masih belum dianggap baik, karena penelitian-penelitian berikutnya oleh para penganut aliran Psikologi Kognitif menemukan bahwa reaksi orang terhadap suatu rangsangan tertentu bisa berbeda-beda. Seorang ibu rumah tangga yang belum pernah melihat beruang, memang bisa menjerit ketakutan , jika ia tiba-tiba menemukan seekor beruang di halaman rumahnya. Tetapi, seorang pelatih beruang akan bereaksi tenang saja, sama sekali tidak takut karena sudah terbiasa dengan binatang itu. Jadi, disini ada faktor interpretasi terhadap rangsangan (bukan terhadap reaksi motorik) yang menyebabkan akan timbul emosi atau tidak, dan emosi apa yang akan timbul.



















3.MENGEMBANGKAN EMOSI DASAR POSITF
Emosi adalah gerakan atau ungkapan perasan yang keluar dari dalam diri seseorang. Dalam Kamus Konseling (Drs. Sudarsono, SH, 1996), emosi digambarkan sebagai suatu keadaan yang komplek dari organisme perasaan yang disertai dengan perubahan-perubahan dalam organ tubuh yang sifatnya luas, biasanya ditandai oleh perasaan yang kuat yang mengarah ke suatu bentuk perilaku tertentu, erat kaitannya dengan kondisi tubuh, denyut jantung, sirkulasi dan pernafasan.
Dari pengertian tersebut, emosi merupakan sebuah reaksi kita ketika berelasi dengan diri sendiri, orang lain dan lingkungan hidup kita. Reaksi tersebut disadari atau tidak mempunyai efek entah bersifat membangun entah merusak. Bisa dikatakan bahwa emosi sebenarnya bukan cuma sebagai reaksi terhadap keadaan pada diri maupun luar diri kita, tetapi juga merupakan upaya pencapaian ke arah pembentukan diri menuju hidup yang transendental (spiritual).
Secara umum emosi dikategorikan menjadi dua jenis yaitu emosi dasar positif dan emosi dasar negatif.Emosi dasar positif adalah perasaan berupa sukacita (joy), yakin/ percaya (trust/ faith), pengharapan (hope), syukur (praise), berbela rasa (compassion), mau mengerti dan menerima (willingness to understand and to accept). Emosi dasar positif ini sering disebut sebagai kekuatan biofilik, (cinta kehidupan, pro vita).
edangkan emosi dasar negatif adalah perasaan berupa dengki, dendam, iri, kejam, menolak dan tak mau mengerti. Emosi jenis ini merupakan kekuatan nekrofilik karena dapat menjadi kekuatan yang bersifat merugikan dan mematikan.
Individu yang mau bertumbuh kembang dan bertransformasi diri seyogiyanya mengembangkan emosi dasar positif dan melawan emosi dasar negatif. Pengembangan perasaan sukacita, yakin/ percaya, pengharapan, syukur, berbela rasa dan mau mengerti serta menerima, harus mempunyai dasar dan sungguh-sungguh sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang kita yakini. Artinya emosi dasar positif harus dikembangkan secara riil, sadar, responsif dan rasional.
Agar kita dapat bertumbuh kembang menuju pribadi utuh, kita seyogiyanya memiliki komitmen dan tanggung jawab dalam menyadari dan menumbuhkan emosi dasar positif ini. Dengan demikian, perbaikan kecil yang terus menerus dapat berlangsung karena didukung oleh emosi dasar positif yang pro kehidupan





4. PENGERTIAN KECERDASAN EMOSIONAL
Berdasarkan pengertian tradisional, kecerdasan meliputi kemampuan membaca, menulis, berhitung, sebagai jalur sempit ketrampilan kata dan angka yang menjadi fokus di pendidikan formal (sekolah), dan sesungguhnya mengarahkan seseorang untuk mencapai sukses di bidang akademis (menjadi professor). Tetapi definisi keberhasilan hidup tidak melulu ini saja. Pandangan baru yang berkembang : ada kecerdasan lain di luar IQ, seperti bakat, ketajaman pengamatan sosial, hubungan sosial, kematangan emosional, dll. yang harus juga dikembangkan.
Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin diri dan lingkungan sekitarnya. Ketrampilan ini dapat diajarkan kepada anak-anak. Orang-orang yang dikuasai dorongan hati yang kurang memiliki kendali diri, menderita kekurangmampuan pengendalian moral.
Berdasarkan pengalaman, apabila suatu masalah menyangkut pengambilan keputusan dan tindakan, aspek perasaan sama pentingnya dan sering kali lebih penting daripada nalar. Emosi itu memperkaya; model pemikiran yang tidak menghiraukan emosi merupakan model yang miskin. Nilai-nilai yang lebih tinggi dalam perasaan manusia, seperti kepercayaan, harapan, pengabdian, cinta, seluruhnya lenyap dalam pandangan kognitif yang dingin, Kita sudah terlalu lama menekankan pentingnya IQ dalam kehidupan manusia. Bagaimanapun, kecerdasan tidaklah berarti apa-apa bila emosi yang berkuasa. Kecerdasan emosional menambahkan jauh lebih banyak sifat-sifat yang membuat kita menjadi lebih manusiawi.
Antara IQ dan EQ
Kecerdasan akademis sedikit kaitannya dengan kehidupan emosional. Orang dengan IQ tinggi dapat terperosok ke dalam nafsu yang tak terkendali dan impuls yang meledak-ledak; orang dengan IQ tinggi dapat menjadi pilot yang tak cakap dalam kehidupan pribadi mereka. Terdapat pemikiran bahwa IQ menyumbang paling banyak 20 % bagi sukses dalam hidup, sedangkan 80 % ditentukan oleh faktor lain.

Kecerdasan akademis praktis tidak menawarkan persiapan untuk menghadapi gejolak atau kesempatan yang ditimbulkan oleh kesulitan-kesulitan hidup. IQ yang tinggi tidak menjamin kesejahteraan, gengsi, atau kebahagiaan hidup.
Banyak bukti memperlihatkan bahwa orang yang secara emosional cakap yang mengetahui dan menangani perasaan mereka sendiri dengan baik, dan yang mampu membaca dan menghadapi perasaan orang lain dengan efektif memiliki keuntungan dalam setiap bidang kehidupan, entah itu dalam hubungan asmara dan persahabatan, ataupun dalam menangkap aturan-aturan tak tertulis yang menentukan keberhasilan dalam politik organisasi.
Orang dengan ketrampilan emosional yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan bahagia dan berhasil dalam kehidupan, menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas mereka. Orang yang tidak dapat menghimpun kendali tertentu atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang merampas kemampuan mereka untuk berkonsentrasi pada karir/pekerjaan ataupun untuk memiliki pikiran yang jernih.
Goleman (1997), mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Lebih lanjut Goleman (1997) mengemukakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam meghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.
Sementara Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya Howes dan Herald (1999) mengatakan pada intinya, kecerdasaan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa emosi manusia berada diwilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasaan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain. Menurut Harmoko (2005) Kecerdasan emosi dapat diartikan kemampuan untuk mengenali, mengelola, dan mengekspresikan dengan tepat, termasuk untuk memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina hubungan dengan orang lain. Jelas bila seorang indiovidu mempunyai kecerdasan emosi tinggi, dapat hidup lebih bahagia dan sukses karena percaya diri serta mampu menguasai emosi atau mempunyai kesehatan mental yang baik.
Sedangkan menurut Dio (2003), dalam konteks pekerjaan, pengertian kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengetahui yang orang lain rasakan, termasuk cara tepat untuk menangani masalah. Orang lain yang dimaksudkan disini bisa meliputi atasan, rekan sejawat, bawahan atau juga pelanggan. Realitas menunjukkan seringkali individu tidak mampu menangani masalah–masalah emosional di tempat kerja secara memuaskan. Bukan saja tidak mampu memahami perasaan diri sendiri, melainkan juga perasaan orang lain yang berinteraksi dengan kita. Akibatnya sering terjadi kesalahpahaman dan konflik antar pribadi.


Berbeda dengan pemahaman negatif masyarakat tentang emosi yang lebih mengarah pada emosionalitas sebaiknya pengertian emosi dalam lingkup kecerdasan emosi lebih mengarah pada kemampuan yang bersifat positif. Didukung pendapat yang dikemukakan oleh Cooper (1999) bahwa kecerdasan emosi memungkinkan individu untuk dapat merasakan dan memahami dengan benar, selanjutnya mampu menggunakan daya dan kepekaan emosinya sebagai energi informasi dan pengaruh yang manusiawi. Sebaliknya bila individu tida memiliki kematangan emosi maka akan sulit mengelola emosinya secara baik dalam bekerja. Disamping itu individu akan menjadi pekerja yang tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan, tidak mampu bersikap terbuka dalam menerima perbedaan pendapat , kurang gigih dan sulit berkembang.
Dari beberapa pendapat diatas dapatlah dikatakan bahwa kecerdasan emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. 3 (tiga) unsur penting kecerdasan emosional terdiri dari : kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri); kecakapan sosial (menangani suatu hubungan) dan keterampilan sosial (kepandaian menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain).
Survey membuktikan …
Survei terhadap orangtua dan guru-guru memperlihatkan adanya kecenderungan yang sama di seluruh dunia, yaitu generasi sekarang, lebih banyak mengalami kesulitan emosional daripada generasi sebelumnya : lebih kesepian dan pemurung, lebih berangasan dan kurang menghargai sopan santun, lebih gugup dan mudah cemas, lebih impulsif dan agresif.
Kemerosotan emosi tampak dalam semakin parahnya masalah spesifik berikut :
• Menarik diri dari pergaulan atau masalah sosial; lebih suka menyendiri, bersikap sembunyi-sembunyi, banyak bermuram durja, kurang bersemangat, merasa tidak bahagia, terlampau bergantung.
• Cemas dan depresi, menyendiri, sering takut dan cemas, ingin sempurna, merasa tidak dicintai, merasa gugup atau sedih dan depresi.
• Memiliki masalah dalam hal perhatian atau berpikir ; tidak mampu memusatkan perhatian atau duduk tenang, melamun, bertindak tanpa bepikir, bersikap terlalu tegang untuk berkonsentrasi, sering mendapat nilai buruk di sekolah, tidak mampu membuat pikiran jadi tenang.
• Nakal atau agresif; bergaul dengan anak-anak yang bermasalah, bohong dan menipu, sering bertengkar, bersikap kasar terhadap orang lain, menuntut perhatian, merusak milik orang lain, membandel di sekolah dan di rumah, keras kepala dan suasana hatinya sering berubah-ubah, terlalu banyak bicara, sering mengolok-olok , bertemperamen panas.
Penelitian jangka panjang terhadap 95 mahasiswa Harvard dari angkatan tahun 1940 an menunjukkan bahwa dalam usia setengah baya, mereka yang peroleh tesnya paling tinggi di perguruan tinggi tidaklah terlampau sukses dibandingkan rekan-rekannya yang IQ nya lebih rendah bila diukur menurut gaji, produktivitas, atau status di bidang pekerjaan mereka.
Mereka juga bukan yang paling banyak mendapatkan kepuasan hidup, dan juga bukan yang paling bahagia dalam hubungan persahabatan, keluarga, dan asrmara.
Penanganan
Bagaimana kita mempersiapkan anak-anak kita dalam menempuh kehidupan ? Perlu pendidikan kecakapan manusiawi dasariah, seperti kesadaran diri, pengendalian diri, dan empati, seni mendengarkan, menyelesaikan pertentangan dan kerja sama. Kendati terdapat kendali sosial, dari waktu ke waktu nafsu seringkali menguasai nalar. Perlu adanya keseimbangan antara kecerdasan rasional dan kecerdasan emosional. Keberhasilan hidup ditentukan oleh keduanya.
Ajaran Socrates : Kenalilah dirimu menunjukkan inti kecerdasan emosional : kesadaran akan perasaan diri sendiri sewaktu perasaan itu timbul.
Pelatihan untuk menyatakan perasaan negatif (marah, frustrasi, kecewa, depresi, cemas) menjadi amat penting. Pelampiasan yang tidak tepat justru menambah intensitas, bukan mengurangi. Cara berpikir menentukan cara merasa, oleh karenanya berpikir positif sangatlah diperlukan.
Ketekunan, kendali dorongan hati dan emosi, penundaan pemuasan yang dipaksakan kepada diri sendiri demi suatu sasaran, kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain (empati), dan manajemen diri merupakan hal yang dapat dipelajari.
Pengalaman dan pendidikan di masa kanak-kanak akan sangat menentukan dasar pembentukan ketrampilan sosial dan emosional.














5. MENGUASAI EMOSI
Menahan Diri dan Menguasai Emosi
Syarat penting untuk mengatasi problematika ini adalah berpikir sebelum bertindak, bersikap bijaksana, terkontrol dan menghindari amarah serta sikap tergesa gesa.
Seorang ibu memasuki kamar anaknya dan melihat kaca cermin pecah berserakan di lantai, lalu ia langsung menjerit dan marah marah sambil mencaci, "Kenapa kamu melakukan ini? Katakan apa yang sebenarnya terjadi, jika tidak aku akan memukulmu!" Tidak ragu lagi hal ini akan mendorong anaknya untuk berbohong. Dalam situasi seperti ini, mustahil seorang anak akan mengakui perbuatannya, apalagi ia dihadapkan pada amarah dengan hukuman yang siap menantinya.

Berbeda dengan ibu yang tenang dan lembut hatinya. Dia bisa mengontrol emosinya ketika melihat anaknya memecahkan kaca dan berkata, : Bagaimana ini bisa terjadi sayang? Ayo katakan pada mama." Dengan begitu sang anak pasti akan meminta ma'af dan mengakui kesalahannya, tanpa harus melakukan kebohongan. Lalu sang ibu memeluknya dan bersyukur atas keberaniann dan kejujuran yang ia katakan dan dia tidak sampai mencacinya. Terlebih lagi jika sang ibu melakukan semua ini dengan tulus, tenang dan bijaksana.
Dengan demikian berarti sang ibu telah menanamkan kejujuran pada diri anak tersebut dan ketahuilah bahwa ucapan yang jujur akan mengantarkan seorang pada kesuksesan.

Syauqi mengatakan dalam sebuah syair,
Berbuat baiklah kepada semua orang, maka kamu akan mendapatkan belas kasih mereka, meski dengan kebaikan yang paling rendah.

Pergaulilah semua orang dengan baik, maka kamu akan dicintai, sejak dahulu keindahan seseorang terletak pada akhlaknya yang luhur.

Seorang Cendikiawan menjelaskan bahwa kebohongan merupakan salah satu penyakit yang disebabkan karena ketidak mampuan anak dimasa masa puber untuk beradaptasi dengan lingkungannya, keluarga atau masyarakat. Kebohongan juga merupakan salah satu jenis prilaku sosial yang menyimpang yang lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya.
Sering kita melihat prilaku bohong yang menjangkit anak anak ABG, dan untuk mengetahui penyebabnya maka kita harus meneliti akarnya, yaitum kondisi lingkungan keluarganya dan prilaku prilaku apa saja yang mendominasi aktivitas kesehariannya.



Survei membuktikan bahwa kebiasaan berbohong pada anak anak di masa pubernya adalah di karenakan mereka sudah terbiasa berbohong sejak masa kanak-kanaknya. Sehingga pada masa puber ia jadi lebih berani melakukan kebohongan hanya untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang dilakukannya, menyembunyikan rahasianya, dan melepaskan diri dari kesulitan yang akan menimpanya.

Kesalahan yang biasa dilakukan orang tu terhadap anak yang sedang menginjak masa puber :
- Memperlakukan anak anak dengan keras, tegas, dan terlalu mencampuri urusan mereka.
- Ketidak pedulian orang tua dan tidak ada arahan serta nasehat dari mereka.

Adapun model memperlakukan anak yang paling baik dan jarang ditemukan dalam masyarakat kita adalah model yang diterapkan berdasarkan tahapan tahapan umur dan dengan cara yang tepat.


















5. GEJOLAK EMOSI REMAJA
Pengertian Emosi

Menurut Crow & Crow (1958) pengertian emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik yang berwujud suatu tingkah laku yang tampak.

Emosi adalah warna afektif yang kuat dan disertai oleh perubahan-perubahan pada fisik.Pada saat terjadi emosi sering kali terjadi perubahan-perubahan pada fisik antara lain :

1. Reaksi elektris pada kulit : meningkat bila terpesona
2. Peredaran darah : bertambah cepat bila marah
3. Denyut jantung : bertambah cepat bila terkejut
4. Pernafasan : bernafas panjang kalau kecewa
5. Pupil mata : membesar bila marah
6. Liur : mengering kalau takut atau tegang
7. Bulu roma : berdiri kalau takut
8. Pencernaan : mencret-mencret kalau tegang
9. Otot : menegang dan bergetar saat ketakutan atau tegang
10. komposisi darah : akan ikut berubah karena emosi yang menyebabkan kalenjar-kalenjar lebih aktif.

Karakteristik Emosi Remaja

Masa remaja secara tradisional dianggap sebagai periode “badai dan tekanan”, dimana pada masa itu emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kalenjar. Namun tidak semua remaja menjalani masa badai dan tekanan, namun benar juga bila sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi usaha penyesuaian diri terhadap pola perilaku baru dan harapan social baru.

Pola emosi masa remaja sama dengan pola emosi masa kanak-kanak. Jenis yang secara normal dialami adalah : cinta atau kasih sayang, gembira, amarah, takut, sedih dan lainnya lagi. Perbedaannya terletak pada macam dan derajat rangsangan yang membangkitkan emosinya dan khususnya pola pengendalian yang dilakukan individu terhadap ungkapan emosi mereka.
Biehler (1972) membagi ciri-ciri emosional remaja menjadi dua rentang usia, yaitu usia 12-15 tahun dan usia 15-18 tahun.



• Ciri-ciri emosional usia 12-15 tahun
1. Cenderung banyak murung dan tidak dapat diterka
2. Bertingkah laku kasar untuk menutupi kekurangan dalam hal rasa percaya diri
3. Kemarahan biasa terjadi
4. Cenderung tidak toleran terhadap orang lain dan ingin selalu menang sendiri
5. Mulai mengamati orang tua dan guru-guru mereka secara objektif

• Ciri-ciri emosional remaja usia 15-18 tahun
1. “Pemberontakan” remaja merupakan ekspresi dari perubahan yang universal dari masa kanak-kanak menuju dewasa
2. Banyak remaja mengalami konflik dengan orang tua mereka
3. Sering kali melamun, memikirkan masa depan mereka

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi Remaja
Sejumlah penelitian tentang emosi remaja menunjukan bahwa perkembangan emosi mereka bergantung pada faktor kematangan dan faktor belajar. Kematangan dan belajar terjalin erat satu sama lain dalam mempengaruhi perkembangan emosi. Perkembangan intelektual menghasilkan kemampuan untuk memahami makna yang sebelumnya tidak dimengerti dimana itu menimbulkan emosi terarah pada satu objek. Kemampuan mengingat juga mempengaruhi reaksi emosional. Dan itu menyebabkan anak-anak menjadi reaktif terhadap rangsangan yang tadinya tidak mempengaruhi mereka pada usia yang lebih muda.

Kegiatan belajar juga turut menunjang perkembangan emosi. Metode belajar yang menunjang perkembangan emosi, antara lain yaitu :
1. Belajar dengan coba-coba
Anak belajar secara coba-coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya dan menolak perilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan kepuasan.

2. Belajar dengan cara meniru
Dengan cara mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain. Anak-anak bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamatinya.

3. Belajar dengan mempersamakan diri
Anak menyamakan dirinya dengan orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan emosional yang kuat dengannya. Yaitu menirukan reaksi emosional orang lain yang tergugah oleh rangsangan yang sama.

4. Belajar melalui pengkondisian
Dengan metode ini objek situasi yang pada mulanya gagal memancing reaksi emosional, kemudian dapat berhasil dengan cara asosiasi. penggunaan metode pengkondisian semakin terbatas pada perkembangan rasa suka dan tidak suka, setelah melewati masa kanak-kanak.

5. Pelatihan atau belajar di bawah bimbingan dan pengawasan
Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang biasa membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar tidak bereaksi secara emosional yang tidak menyenangkan.

Anak memperhalus ekspresi-ekspresi kemarahannya atau emosi lain ketika ia beranjak dari masa kanak-kanak menuju masa remaja. Mendekati berakhirnya remaja, seorang anak telah melewati banyak badai emosional, ia mulai mengalami keadaan emosional yang lebih tenang dan telah belajar dalam seni menyembunyikan perasaan-perasaannya. Jadi, emosi yang ditunjukan mungkin merupakan selubung yang disembunyikan. Contohnya, seorang yang merasa ketakutan tetapi menunjukan kemarahan, dan seseorang yang sebenarnya hatinya terluka tetapi ia malah tertawa, sepertinya ia merasa senang.

Para remaja semasa kanak-kanak, mereka diberitahu atau diajarkan untuk tidak menunjukan perasaan-perasaannya, entah perasaan takut ataupun sedih. Akhirnya seringkali mereka takut dan ingin menangis tetapi tidak berani menunjukan perasaan tersebut secara terang-terangan. Kondisi-kondisi kehidupan atau kulturlah yang menyebabkan mereka merasa perlu menyembunyikan perasaan-perasaannya. Tidak hanya perasaan-perasaannya terhadap orang lain saja, namun pada derajat tertentu bahkan ia dapat kehilangan atau tidak merasakan lagi.

Dengan bertambahnya umur, menyebabkan terjadinya perubahan dalam ekspresi emosional. Bertambahnya pengetahuan dan pemanfaatan media massa atau keseluruhan latar belakang pengalaman, berpengaruh terhadap perubahan-perubahan emosional ini.

Perbedaan Individual Dalam Perkembangan Emosi Remaja
Dengan meningkatnya usia anak, semua emosi diekspresikan secara lunak karena mereka telah mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan emosi yang berlebihan, sekalipun emosi itu berupa kegembiraan atau emosi yang menyenangkan lainnya. Adapun karena anak-anak mengekang sebagian ekspresi emosi mereka, emosi tersebut cenderung berahan lebih lama daripada jika emosi itu diekspresikan secara lebih terbuka. Oleh kerena itu, ekspresi emosional mereka menjadi berbeda-beda.

Dan perbedaan itu sebagian disebabkan oleh keadaan fisik anak pada saat itu dan taraf kemampuan intelektualnya. Anak yang sehat cenderung kurang emosional dibandingkan dengan anak yang kurang sehat. Jika dilihat sebagai anggota suatu kelompok, anak-anak yang pandai bereaksi lebih emosional terhadap berbagai macam rangsangan dibandingkan dengan anak yang kurang pandai bereaksi. Tetapi sebaliknya mereka lebih dapat mampu mengendalikan emosi.

Dalam sebuah keluarga, anak laki-laki lebih sering dan lebih kuat mengekspresikan emosi yang sesuai dengan jenis kelamin mereka. Rasa cemburu dan marah lebih umum terdapat di kalangan keluarga besar, sedangkan rasa iri lebih umum terdapat di kalangan keluarga kecil. Rasa cemburu dan ledakan kemarahan lebih umum dan lebih kuat di kalangan anak pertama dibandingkan dengan anak yang lahir kemudian dalam keluarga yang sama.

Cara mendidik yang otoriter mendorong perkembangan emosi kecemasan dan takut, sedangkan cara mendidik yang permisif atau demokratis mendorong berkembangnya semangat dan rasa kasih sayang. Anak-anak dari keluarga yang berstatus sosial ekonomi rendah cenderung lebih mengembangkan rasa takut dan cemas dibandingkan dengan anak-anak yang berasal dari keluarga yang berstatus sosial ekonomi tinggi.

Hubungan Antara Emosi Dan Tingkah Laku
Rasa takut atau marah dapat menyebabkan seseorang gemetar. Dalam ketakutan, mulut menjadi kering, cepatnya jantung berdetak, derasnya aliran darah atau tekanan darah, dan sistem pencernaan mungkin berubah selama pemunculan emosi. Keadaan emosi yang menyenangkan dan relaks berfungsi sebagai alat pembantu untuk mencerna, sedangkan perasaan tidak senang akan menghambat atau mengganggu proses pencernaan.

Peradangan di dalam perut atau lambung, diare, dan sembelit adalah keadaan-keadaan yang dikenal karena terjadinya berhubungan dengan gangguan emosi. Keadaan emosi yang normal sangat bermanfaat bagi kesehatan. Gangguan emosi juga dapat menjadi penyebab kesulitan dalam berbicara. Ketegangan emosional yang cukup lama mungkin menyebabkan seseorang gagap. Banyak situasi yang timbul di sekolah atau dalam suatu kelompok yang dapat menyebabkan seseorang menjadi tenang.

Seorang siswa tidak senang kepada gurunya bukan karena pribadi guru, namun bisa juga disebabkan sesuatu yang terjadi pada saat sehubungan dengan situasi kelas. Penderitaan emosional dan frustasi mempengaruhi efektivitas belajar. Anak sekolah akan belajar efektif apabila ia termotivasi, karena ia perlu belajar. Setelah hal ini ada pada dirinya, selanjutnya ia akan mengembangkan usahanya untuk dapat menguasai bahan yang ia pelajari.

Reaksi setiap pelajar tidak sama, oleh karena itu rangsangan untuk belajar yang diberikan harus berbeda-beda dan disesuaikan dengan kondisi anak. Dengan begitu, rangsangan-rangsangan yang menhasilkan perasaan yang tidak menyenangkan akan mempengaruhi hasil belajar dan demikian pula rangsangan yang menghasilkan perasaan yang menyenangkan akan mempermudah siswa dalam belajar.

Tidak ada komentar: