Senin, 30 Agustus 2010

PERILAKU ABNORMAL

BAB I
PENDAHULUAN

Abnormalitas dilihat dari sudut pandang biologis berawal dari pendapat bahwa patologi otak merupakan faktor penyebab tingkah laku abnormal. Pandangan ini ditunjang lebih kuat dengan perkembangan di abad ke-19 khususnya pada bidang anatomi faal, neurologi, kimia dan kedokteran umum.
Berbagai penyakit neurologis saat ini telah dipahami sebagai terganggunya fungsi otak akibat pengaruh fisik atau kimiawi dan seringkali melibatkan segi psikologis atau tingkah laku.Akan tetapi kita harus perhatikan bahwa kerusakan neurologis tidak selalu memunculkan tingkah laku abnormal, dengan kata lain tidak selalu jelas bagaimana kerusakan ini dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang.
Fungsi otak yang kuat bergantung pada efisiensi sel saraf atau neuron untuk mentransmisikan suatu pesan melalui synaps ke neuron berikutnya dengan menggunakan zat kimia yang disebut neurotransmiter. Dengan ketidakseimbangan bio kimia otak inilah yang mendasari perspektif biologis munculnya tingkah laku abnormal. Akan tetapi selain dari patologi otak sudut pandang biologis juga memandang bahwa beberapa tingkah laku abnormal ditentukan oleh gen yang diturunkan.

BAB II
ISI

PERILAKU ABNORMAL

1.PENGERTIAN PERILAKU ABNORMAL

Perilaku abnormal adalah kekalutan mental & melampaui titik kepatahan mental = dikenal sebagai nervous breakdown. (get mental breakdown). Sepanjang sejarah budaya barat, konsep perilaku abnormal telah dibentuk, dalam beberapa hal, oleh pandangan dunia waktu itu. Contohnya, masyarakat purba menghubungkan perilaku abnormal dengan kekuatan supranatural atau yang bersifat ketuhanan. Para arkeolog telah menemukan kerangka manusia dari Zaman Batu dengan lubang sebesar telur pada tengkoraknya. Satu interpretasi yang muncul adalah bahwa nenek moyang kita percaya bahwa perilaku abnormal merefleksikan serbuan/invasi dari roh-roh jahat. Mungkin mereka menggunakan cara kasar yang disebut trephination--menciptakan sebuah jalur bagi jalan keluarnya roh tertentu.
Pada abad pertengahan kepercayaan tersebut makin meningkat pengaruhnya dan pada akhirnya mendominasi pemikiran di zaman pertengahan. Doktrin tentang penguasaan oleh roh jahat meyakini bahwa perilaku abnormal merupakan suatu tanda kerasukan oleh roh jahat atau iblis. Rupanya, hal seperti ini masih dapat dijumpai di negara kita, khususnya di daerah pedalaman. Pernah saya melihat di tayangan televisi yang mengisahkan tentang seorang ibu dirantai kakinya karena dianggap gila. Oleh karena keluarga meyakini bahwa sang ibu didiami oleh roh jahat, maka mereka membawa ibu ini pada seorang tokoh agama di desanya.

Dia diberi minum air putih yang sudah didoakan. Mungkin inilah gambaran situasi pada abad pertengahan berkaitan dengan penyebab perilaku abnormal.
Lalu apa yang dilakukan waktu itu? Pada abad pertengahan, para pengusir roh jahat dipekerjakan untuk meyakinkan roh jahat bahwa tubuh korban yang mereka tuju pada dasarnya tidak dapat dihuni. Mereka melakukan pengusiran roh jahat (exorcism) dengan cara, misalnya: berdoa, mengayun-ayunkan tanda salib, memukul, mencambuk, dan bahkan membuat korban menjadi kelaparan. Apabila korban masih menunjukkan perilaku abnormal, maka ada pengobatan yang lebih kuat, seperti penyiksaan dengan peralatan tertentu.

Keyakinan-keyakinan dalam hal kerasukan roh jahat tetap bertahan hingga bangkitnya ilmu pengetahuan alam pada akhir abad ke 17 dan 18. Masyarakat secara luas mulai berpaling pada nalar dan ilmu pengetahuan sebagai cara untuk menjelaskan fenomena alam dan perilaku manusia. Akhirnya, model-model perilaku abnormal juga mulai bermunculan, meliputi model-model yang mewakili perspektif biologis, psikologis, sosiokultural, dan biopsikososial. Di bawah ini adalah penjelasan-penjelasan singkatnya

Perspektif biologis: Seorang dokter Jerman, Wilhelm Griesinger (1817-1868) menyatakan bahwa perilaku abnormal berakar pada penyakit di otak. Pandangan ini cukup memengaruhi dokter Jerman lainnya, seperti Emil Kraepelin (1856-1926) yang menulis buku teks penting dalam bidang psikiatri pada tahun 1883. Ia meyakini bahwa gangguan mental berhubungan dengan penyakit fisik. Memang tidak semua orang yang mengadopsi model medis ini meyakini bahwa setiap pola perilaku abnormal merupakan hasil dari kerusakan biologis, namun mereka mempertahankan keyakinan bahwa pola perilaku abnormal tersebut dapat dihubungkan dengan penyakit fisik karena ciri-cirinya dapat dikonseptualisasikan sebagai simtom-simtom dari gangguan yang mendasarinya.

Perspektif psikologis:
Sigmund Freud, seorang dokter muda Austria (1856-1939) berpikir bahwa penyebab perilaku abnormal terletak pada interaksi antara kekuatan-kekuatan di dalam pikiran bawah sadar. Model yang dikenal sebagai model psikodinamika ini merupakan model psikologis utama yang pertama membahas mengenai perilaku abnormal.


Perspektif sosiokultural:
Pandangan ini meyakini bahwa kita harus mempertimbangkan konteks-konteks sosial yang lebih luas di mana suatu perilaku muncul untuk memahami akar dari perilaku abnormal. Penyebab perilaku abnormal dapat ditemukan pada kegagalan masyarakat dan bukan pada kegagalan orangnya. Masalah-masalah psikologis bisa jadi berakar pada penyakit sosial masyarakat, seperti kemiskinan, perpecahan sosial, diskriminasi ras, gender,gayahidup,dansebagainya.

Perspektif biopsikososial: Pandangan ini meyakini bahwa perilaku abnormal terlalu kompleks untuk dapat dipahami hanya dari salah satu model atau perspektif. Mereka mendukung pandangan bahwa perilaku abnormal dapat dipahami dengan paling baik bila memperhitungkan interaksi antara berbagai macam penyebab yang mewakili bidang biologis, psikologis, dan sosiokultural.

Dahulu
: dianggap PL patologis, tidak bermoral, jahat, menggunakan sihir, guna2
-- harus dimusnahkan : diisolasi, dirantai, disiksa, dibakar, dibunuh

Sekarang
: dianggap sebagai gangguan mental / kekacauan emosional
- penderita harus diobati, ditolong, (tidak disiksa) --- lebih manusiawi

2. MODEL PERILAKU ABNORMAL
Untuk memperoleh informasi tentang perkembangan, gambaran, bentuk dan sebagainya dapat dilihat melalui :
Model perilaku abnormal adalah penggambaran gejala dalam dimensi ruang & waktu mencakup :
• Ide-ide untuk mengidentifikasi gejala patologi
• Sebab-sebab gejala
• Cara mengatasi

a Model demonologis

• Dasar perilaku abnormal adalah kepercayaan pada unsure-unsur mistik, ghaib (kekuatan setan, guna2, sihir).

• Gejala-gejala
Halusinasi, PL aneh, tanda jasmani khusus (warna kulit, pigmen, dsb )dianggap sebagai tanda setan

• Gangguan mental
Bersifat “jahat” -dianggap berbahaya, bisa merugikan / membunuh orang

• Cara mengatasi
a.Zaman batu
- Tengkorak dibor (dibolong), sebagai jalan keluar roh jahat
b.Abad pertengahan
- Disiksa, dibunuh, dimusnahkan, dipenjara, RSJ
c.Perkembangan di gereja
- Pendeta yang mengobati (doa, sembahyang, penebusan dosa)

b Model Naturalistis
• Dasar penyebab :
Proses-proses fisik / jasmani perilaku abnormal selalu berhubungan dengan fungsi- fungsi jasmani yang abnormal (bukan karena gejala spiritual).
Misal :
Hipocrates – Galenus
Perilaku abnormal --- karena gangguan pada sistem humoral (cairan dalam tubuh)
• Cara mengatasi :
Perlakuan terhadap penderita lebih humanistic/manusiawi – lebih lembut, wajar & menghilangkan bentuk siksaan-siksaan.

c Model Organis
• Dasar perilaku abnormal :

Kerusakan pada jaringan syaraf / gangguan biokimia pada otak karena kerusakan genetic, disfungsi endokrin, infeksi, luka2, khususnya pada otak.

d Model Psikologis
• Dasar perilaku abnormal :

Pola-pola yang patologis
-Pendekatan -- Psikoanalisis, Behavioristis, kognitif, humanistic,

3. TIGA KRITERIA PERILAKU ABNORMAL

Dalam pandangan psikologi, untuk menjelaskan apakah seorang individu menunjukkan perilaku abnormal dapat dilihat dari tiga kriteria berikut:
1. Kriteria Statistik
Seorang individu dikatakan berperilaku abnormal apabila menunjukkan karakteristik perilaku yang yang tidak lazim alias menyimpang secara signifikan dari rata-rata, Dilihat dalam kurve distribusi normal (kurve Bell), jika seorang individu yang menunjukkan karakteristik perilaku berada pada wilayah ekstrem kiri (-) maupun kanan (+), melampaui nilai dua simpangan baku, bisa digolongkan ke dalam perilaku abnormal.
• Perspektif ini menggunakan pengukuran statistik dimana semua variabel yang yang akan diukur didistribusikan ke dalam suatu kurva normal atau kurva dengan bentuk lonceng. Kebanyakan orang akan berada pada bagian tengah kurva, sebaliknya abnormalitas ditunjukkan pada distribusi di kedua ujung kurva.
• Digunakan dalam bidang medis atau psikologis. Misalnya mengukur tekanan darah, tinggi badan, intelegensi, ketrampilan membaca, dsb.
• Namun, kita jarang menggunakan istilah abnormal untuk salah satu kutub (sebelah kanan). Misalnya orang yang mempunyai IQ 150, tidak disebut sebagai abnormal tapi jenius.
• Tidak selamanya yang jarang terjadi adalah abnormal. Misalnya seorang atlet yang mempunyai kemampuan luar biasa tidak dikatakan abnormal. Untuk itu dibutuhkan informasi lain sehingga dapat ditentukan apakah perilaku itu normal atau abnormal.

2. Kriteria Norma
Banyak ditentukan oleh norma-norma yng berlaku di masyarakat,ekspektasi kultural tentang benar-salah suatu tindakan, yang bersumber dari ajaran agama maupun kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat , misalkan dalam berpakaian, berbicara, bergaul, dan berbagai kehidupan lainnya. Apabila seorang individu kerapkali menunjukkan perilaku yang melanggar terhadap aturan tak tertulis ini bisa dianggap sebagai bentuk perilaku abnormal.
• Kriteria ini mengakibatkan definisi abnormal bersifat relatif tergantung pada norma masyarakat dan budaya pada saat itu. Misalnya di Amerika pada tahun 1970-an, homoseksual merupakan perilaku abnormal, tapi sekarang homoseksual tidak lagi dianggap abnormal.
• Walaupun kriteria ini dapat membantu untuk mengklarifikasi relativitas definisi abnormal sesuai sejarah dan budaya tapi kriteria ini tidak cukup untuk mendefinisikan abnormalitas. Misalnya pelacuran dan perampokan yang jelas melanggar norma masyarakat tidak dijadikan salah satu kajian dalam psikologi abnormal.

3. Personal distress

• Perilaku dianggap abnormal jika hal itu menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan bagi individu.
• Tidak semua gangguan (disorder) menyebabkan distress. Misalnya psikopat yang mengancam atau melukai orang lain tanpa menunjukkan suatu rasa bersalah atau kecemasan.
• Juga tidak semua penderitaan atau kesakitan merupakan abnormal. Misalnya seseorang yang sakit karena disuntik.
• Kriteria ini bersifat subjektif karena susah untuk menentukan setandar tingkat distress seseorang agar dapat diberlakukan secara umum.
4.Unexpectedness
• Biasanya perilaku abnormal merupakan suatu bentuk respon yang tidak diharapkan terjadi. Contohnya seseorang tiba-tiba menjadi cemas (misalnya ditunjukkan dengan berkeringat dan gemetar) ketika berada di tengah-tengah suasana keluarganya yang berbahagia. Atau seseorang mengkhawatirkan kondisi keuangan keluarganya, padahal ekonomi keluarganya saat itu sedang meningkat. Respon yang ditunjukkan adalah tidak diharapkan terjadi.

5.Disability

• Individu mengalami ketidakmampuan (kesulitan) untuk mencapai tujuan karena abnormalitas yang dideritanya. Misalnya para pemakai narkoba dianggap abnormal karena pemakaian narkoba telah mengakibatkan mereka mengalami kesulitan untuk menjalankan fungsi akademik, sosial atau pekerjaan.
• Tidak begitu jelas juga apakah seseorang yang abnormal juga mengalami disability. Misalnya seseorang yang mempunyai gangguan seksual voyeurisme (mendapatkan kepuasan seksual dengan cara mengintip orang lain telanjang atau sedang melakukan hubungan seksual), tidak jelas juga apakah ia mengalami disability dalam masalah seksual.

Dari semua kriteria di atas menunjukkan bahwa perilaku abnormal sulit untuk didefinisikan. Tidak ada satupun kriteria yang secara sempurna dapat membedakan abnormal dari perilaku normal. Tapi sekurang-kurangnya kriteria tersebut berusaha untuk dapat menentukan definisi perilaku abnormal. Dan adanya kriteria pertimbangan sosial menjelaskan bahwa abnormalitas adalah sesuatu yang bersifat relatif dan dipengaruhi oleh budaya serta waktu.

4. PENYEMBUHAN PERILAKU ABNORMAL
Pendekatan biologis dalam penyembuhan perilaku abnormal berpendapat bahwa gangguan mental, seperti penyakit fisik disebabkan oleh disfungsi biokimiawi atau fisiologis otak. Terapi fisiologis dalam upaya penyembuhan perilaku abnormal meliputi kemoterapi, elektrokonvulsif dan prosedur pembedahan.
1.Kemoterapi(Chemotherapy)
Chemotherapy atau Kemoterapi dalam kamus J.P. Chaplin diartikan sebagai penggunaan obat bius dalam penyembuhan gangguan atau penyakit-penyakit mental.Adapun penemuan obat-obat ini dimulai pada awal tahun 1950-an, yaitu ditemukannya obat yang menghilangkan sebagian gejala Schizophrenia.
Beberapa tahun kemudian ditemukan obat yang dapat meredakan depresi dan sejumlah obat-obatan dikembangkan untuk menyembuhkan kecemasan
a. Antianxiety Drugs
Yaitu obat yang dapat menurunkan kecemasan dan termasuk pada golongan yang dinamakan benzodiazepin. Obat-obatan ini sering dikenal dengan transkuiliser (penenang).Transkuiliser ini terdiri dari transkuiliser minor dan transkuiliser mayor.

• Transkuiliser Minor
Obat-obat ini biasanya diberikan pada pasien yang mengeluh cemas atau tegang, walaupun beberapa orang sering menggunakannya sebagai pil tidur. Yang termasuk golongan ini adalah valium, librium, miltown, atarax, serax dan equamil.
Valium dan transkuiliser lainnya digunakan untuk menekan aktivitas sistem saraf pusat, mengurangi aktivitas simpatis, mereduksi kecepatan jantung, kecepatan pernafasan dan perasaan gelisah serta ketegangan.Masalah yang diasosiasikan pada beberapa trankuiliser adalah kecemasan yang mengganjal. Beberapa pasien yang telah menggunakan obat ini secara tidak teratur berakibat pada kecemasannya muncul kembali dan rasa sakitnya bertambah.
• Transkuiliser Mayor
Transkuiliser Mayor dianggap pada bagian yang luas untuk mengurangi bentuk-bentuk kebutuhan yang bervariasi dari pengendalian dan pengawasan. Dalam beberapa kasus dapat mengurangi agitasi, delusi dan halusinasi. Yang termasuk golongan ini thorazine, mellaril, dan stelazine. Transkuiliser Mayor diberikan pada pasienschizophrenia untuk memimpin sebagian besar kehidupannya secara normal dalam komunitas masyarakat, tempat kerjanya, dan mempertahankan kehidupan keluarganya.
b. Anti Depressant
Obat anti depressant sering diberikan pada pasien yang mengalami depresi mayor. Selain itu juga untuk membantu meningkatkan mood individu yang terdepresi. Obat ini lebih memberikan efek pada membangkitkan energi. Obat anti depressant cenderung mengurangi depresi pada aspek fisik. Contohnya, mereka cenderung untuk meningkatkan tingkat aktivitas pasien untuk mengurangi gangguan makan dan tidur.
Orang yang mengalami depresi berat sering mengalami insomnia oleh karena itu pemberian anti depressant harus mempertimbangkan waktu pemberian. Hal ini menjadi pertimbangan manakala beberapa pasien yang berada di rumah sakit selama periode tertentu mempunyai kecenderungan untuk melakukan bunuh diri.
Akan tetapi pemberian obat anti depressant yang berlebihan akan menyebabkan kematian.

c.Antipsychotic
Obat anti psikotik sangat efektif untuk menghilangkan halusinasi dan konfusi dari satu episode schizophrenia akut serta membantu pemulihan proses berpikir yang rasional.
Obat ini tidak menyembuhkan schizophrenia, akan tetapi membantu pasien agar dapat berfungsi diluar rumah sakit.
Anti psikotik dapat mempersingkat masa perawatan pasien dan mencegah kekambuhan.
Walaupun demikian obat ini memiliki efek samping terhadap mulut menjadi kering, pandangan kabur, konsentrasi berkurang hingga gejala neurologist.
d. Lithium
Bangsa Yunani pertama kali menggunakan metal lithium untuk obat-obatan psycho active. Mereka menentukan kandungan air mineral untuk pasien dengan gangguan bipolar afektif, walaupun demikian mereka belum memahami mengapa hal ini kadang-kadang bisa menghasilkan kesembuhan.
Akibat ini kemungkinan besar dikarenakan air mineral yang mengandung lithium.
Metal lithium dalam bentuk tablet dapat meratakan hasil periode tingkah laku depresif pada tingkat sedang dari persediaan norephinephrin terhadap otak.
2. Electroconvulsive
Terapi elektrokonvulsif (electroconvulsive therapy) dijelaskan oleh psikiater asal Itali Ugo Carletti pada tahun 1939. Pada terapi ini dikenal electroschot therapy, yaitu adanya penggunaan arus listrik kecil yang dialirkan ke otak untuk menghasilkan kejang yang mirip dengan kejang epileptik. Pada saat ini ECT diberikan pada pasien yang mengalami depresi yang parah dimana pasien tidak merespon pada terapi otak.
Secara khusus, pasien dengan terapi ECT mendapatkan satu treatment dalam tiga atau beberapa minggu. ECT dapat menyebabkan ketidaksadaran, walaupun demikian arus listrik yang dialirkan sangatlah lemah. Arus listrik dialirkan melalui pelipis menuju ke sisi hemisfer serebral non dominan.
Individu akan terbangun dalam beberapa menit kemudian dan tidak ingat apapun tentang terapi.Efek samping dari terapi ECT ini adalah gangguan memori yang menimbulkan kekosongan memori sehingga pasien mengalami gangguan kemampuan untuk menambah informasi baru selama beberapa waktu.

3. Psychosurgery
Pada terapi ini, tindakan yang dilakukan adalah adanya pemotongan serabut saraf dengan penyinaran ultrasonik. Psychosurgery merupakan metode yang digunakan untuk pasien yang menunjukan tingkah laku abnormal, diantaranya pasien yang mengalamai gangguan emosi yang berat dan kerusakan pada bagian otaknya.
Pada pasien yang mengalami gangguan berat, pembedahan dilakukan terhadap serabut yang menghubungkan frontal lobe dengan sistim limbik atau dengan area hipotalamus tertentu.
Terapi ini digunakan untuk mengurangi simptom psikotis, seperti disorganisasi proses pikiran, gangguan emosionalitas, disorientasi waktu ruang dan lingkungan, serta halusinasi dan delusi.


KASUS PERILAKU ABNORMAL:

Seorang pejabat Departemen Kesehatan Jepang mengatakan, pihaknya telah menerima laporan 23 kasus obat anti virus yang menyebabkan perubahan tingkah laku pada anak-anak dibawah usia 10 tahun, sumber-sumber Depkes Jepang melaporkan, Sabtu (24/3).Hal tersebut menimbulkan pertanyaan berkaitan dengan instruksi kementrian tersebut baru-baru ini yang melarang dokter untuk memberikan resep obat anti flu tersebut kepada para remaja.
Namun laporan kasus-kasus tersebut terjadi sekitar 2 tahun dari April 2004 tak ada kasus dimana anak-anak tersebut menjatuhkan diri dari bangunan tinggi seperti pada kalangan usia remaja.
Jumlah anak-anak dibawah usia 10 yang menunjukkan gejala neuropsychiatrik, misalnya halusinasi, depresi, kehilangan kesadaran sejak April 2004 tercatat sembilan orang dan menjadi 14 pada April 2005 hingga akhir tahun yang sama, demikian dikatakan oleh para narasumber.DepKes mengatakan akan mempelajari laporan kasus perubahan perilaku pada anak-anak dibawah usia 10 tahun dan menekankan agar para dokter berhati-hati dalam memberikan resep.
Pabrik farmasi Chugai mengatakan, pihaknya akan berkerja sama dengan DepKes dalam penyelidikan kasus itu.
Narasumber tersebut mengatakan, laporan yang masuk yang diajukan oleh perusahaan obat Chugai Pharmaceutical Co. dua dari kasus pada tahun 2005 adalah kasus berperilaku tidak normal.
Pihak eksportir dan distributor Tamiflu yang dibuat di Swiss melaporkan hal tersebut telah mengajukan laporan kepada perusahaan obat dan badan pengawasan obat.
Badan tersebut kini melakukan pemantauan jumlah kasus sebelum dan sesudah 2006, narasumber tersebut melaporkan.
Dengan adanya kasus-kasus tersebut terlihat titik terang dan meningkatkan kesdaran masyarakat, ditambah dengan dikeluarkannya peringatan dari pihak DepKes dan meralat pernyataan sebelumnya yang hanaya menyorot kasus dampak obat flu pada remaja dengan kisaran umur 10 hingga 19 tahun.
Tamiflu dikenal obat yang berpotensi mengatasi influenza dan pemerintah Jepang telah menyimpan obat tersebut dalam jumlah yang cukup besar untuk berjaga-jaga menghadapi wabah flu unggas.
Berdasarkan dua kasus terakhir pada Februari dan Maret pemerintah Jepang dalam hal ini DepKes mengeluarkan instruksi agar dihentikan pemberian Tamiflu pada anak-anak

Tidak ada komentar: